
Banda Aceh, 11 Agustus 2025 — Dua pria di Aceh dijatuhi hukuman 80 kali cambuk setelah dinyatakan bersalah melanggar Qanun Jinayat terkait perilaku hubungan sesama jenis. Eksekusi hukuman dilakukan di halaman terbuka di hadapan puluhan warga, sebagaimana diatur dalam hukum syariah yang berlaku di provinsi tersebut. Kejadian ini memicu kembali sorotan organisasi hak asasi manusia internasional yang mengkritik penerapan hukuman fisik di era modern.
Kronologi Kasus
Menurut laporan Wilayatul Hisbah (polisi syariah), kedua pria tersebut ditangkap pada awal Juni 2025 setelah warga melaporkan dugaan pelanggaran di sebuah rumah kos di Banda Aceh. Proses persidangan di Mahkamah Syariah Aceh berlangsung sekitar satu bulan sebelum putusan dijatuhkan pada akhir Juli.
Hakim menyatakan keduanya terbukti melanggar pasal dalam Qanun Jinayat yang mengatur larangan hubungan sesama jenis, dengan ancaman maksimal 100 kali cambuk. Hukuman dikurangi menjadi 80 kali setelah mempertimbangkan kerja sama terdakwa selama penyelidikan.
Pelaksanaan Hukuman
Eksekusi dilakukan di halaman kantor Wilayatul Hisbah, disaksikan pejabat pemerintah setempat, aparat keamanan, dan masyarakat umum. Kedua terpidana mengenakan pakaian putih, duduk di kursi kayu, dan dieksekusi oleh algojo yang mengenakan penutup wajah.
Petugas medis disiagakan untuk memantau kondisi fisik terpidana selama dan setelah proses cambuk.
Sorotan dan Kritik HAM
Organisasi HAM internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International mengecam keras praktik hukuman cambuk di Aceh, menyebutnya sebagai bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
Pemerintah pusat Indonesia kembali berada di posisi sulit, karena secara konstitusional menghormati kekhususan Aceh berdasarkan perjanjian damai Helsinki 2005, namun di sisi lain harus menanggapi tekanan internasional yang menentang hukuman fisik.
Sikap Pemerintah Daerah
Pejabat Aceh menegaskan bahwa hukuman cambuk merupakan bagian dari penerapan syariah Islam di provinsi tersebut dan memiliki dasar hukum yang kuat dalam Qanun Jinayat. Mereka menyebut hukuman ini sebagai “efek jera” bagi pelanggar norma agama dan hukum adat setempat.
Reaksi Publik Lokal
Di media sosial, reaksi warga Aceh terbelah:
-
Sebagian mendukung hukuman tersebut sebagai bentuk penegakan syariah.
-
Sebagian lain menilai hukuman fisik di ruang publik terlalu keras dan sebaiknya diganti dengan pembinaan.
Kesimpulan:
Kasus ini kembali menempatkan Aceh di sorotan global terkait praktik hukuman fisik. Perdebatan antara otonomi daerah dalam menjalankan syariah dan komitmen Indonesia pada standar HAM internasional diperkirakan akan terus mengemuka, terutama jika praktik cambuk tetap dilaksanakan di ruang terbuka.