Bentrokan Etnis di Sudan Selatan Telan 27 Korban Jiwa, Ribuan Warga Mengungsi
Juba, Sudan Selatan — Kekerasan antarkelompok etnis kembali mengguncang Sudan Selatan setelah terjadi bentrokan sengit antara kelompok bersenjata di wilayah Jonglei pada Rabu hingga Jumat (9–11 Juli), menyebabkan sedikitnya 27 orang tewas dan lebih dari 3.000 warga mengungsi.
Menurut pernyataan dari Palang Merah Internasional, kekerasan terjadi antara milisi dari komunitas Murle dan Lou Nuer, dua kelompok yang memiliki sejarah panjang konflik akibat sengketa lahan, ternak, dan balas dendam atas insiden sebelumnya.
Serangan Mendadak ke Desa Tertutup
Insiden dimulai ketika sekelompok pria bersenjata menyerbu Desa Walgak, membakar rumah, mencuri ternak, dan menewaskan sejumlah warga, termasuk anak-anak. Warga yang selamat mengungkapkan mereka melarikan diri ke semak-semak dan rawa untuk menyelamatkan diri.
“Anak saya dibunuh di depan mata saya. Kami tidak punya rumah lagi,” ujar Nyadak, seorang ibu yang berhasil dievakuasi ke kamp pengungsian di Bor.
Laporan awal dari pejabat lokal menyebutkan 18 orang dari Lou Nuer dan 9 orang dari Murle termasuk dalam daftar korban tewas.
Upaya Mediasi dan Reaksi Pemerintah
Pemerintah Sudan Selatan melalui Kementerian Dalam Negeri menyatakan prihatin dan segera mengirim pasukan ke wilayah konflik untuk meredakan ketegangan. Namun, pengamat menilai respons pemerintah terlalu lamban dan minim upaya jangka panjang.
“Ini bukan hanya soal konflik lokal, tapi krisis keamanan nasional. Pemerintah harus aktif dalam rekonsiliasi akar masalah, bukan hanya kirim tentara,” ujar Dr. James Deng, pakar politik dari Universitas Juba.
Misi PBB di Sudan Selatan (UNMISS) mengutuk kekerasan tersebut dan menyerukan gencatan senjata. Mereka juga telah mengirimkan tim bantuan kemanusiaan ke lokasi pengungsian.
Dampak Kemanusiaan Semakin Parah
Organisasi kemanusiaan menyatakan bahwa gelombang pengungsian terus meningkat. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. UNICEF melaporkan bahwa puluhan anak mengalami trauma berat dan kekurangan gizi akut.
Sudan Selatan, yang baru merdeka pada 2011, masih terus berjuang dengan konflik internal, krisis ekonomi, dan rapuhnya infrastruktur pemerintahan yang menyebabkan kekerasan mudah menyebar.