
Jakarta, 7 Juli 2025 — Di tengah kesibukan hidup kota yang makin cepat dan kompetitif, tren “slow living” atau hidup melambat mulai menjamur di kalangan anak muda urban Indonesia. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap burnout, kecemasan, dan kelelahan mental akibat tekanan kerja, media sosial, dan gaya hidup konsumtif yang melelahkan.
Apa Itu Slow Living?
“Slow living” adalah gaya hidup yang mendorong seseorang untuk lebih hadir dalam momen, menghargai proses, dan menjalani hidup dengan kesadaran penuh. Prinsip utamanya adalah melambat bukan berarti malas, tapi fokus dan bijak dalam memilih apa yang penting.
Menurut psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Dr. Rani Mulyani, tren ini bukan hanya gaya hidup, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap budaya hustle yang mendewakan produktivitas berlebihan.
Contoh Praktik Slow Living
Beberapa bentuk praktik slow living yang kini populer di kalangan milenial dan Gen Z antara lain:
-
☕ Minum kopi pagi tanpa membuka ponsel
-
📓 Journaling atau menulis refleksi harian
-
🌿 Berkebun di rumah atau merawat tanaman indoor
-
🍽️ Memasak makanan sehat sendiri alih-alih beli instan
-
🚶♀️ Melakukan “silent walk” di taman tanpa earphone
Banyak dari mereka yang mulai menghapus notifikasi, membatasi waktu media sosial, dan menerapkan work-life balance secara ketat.
Media Sosial Dukung Tren Ini
Platform seperti TikTok dan Instagram kini dibanjiri konten “aesthetic slow living”, menampilkan suasana dapur pagi yang tenang, rutinitas membaca buku, atau momen menyeduh teh sore hari. Tagar seperti #SlowLiving, #MindfulMonday, dan #DigitalDetox meraih jutaan views.
Salah satu influencer gaya hidup, @claranovita, mengatakan, “Hidupku berubah sejak berhenti mengejar validasi di media sosial. Aku merasa lebih damai saat menjauh dari layar.”
Ekonomi dan Industri yang Terpengaruh
Tren ini turut memengaruhi industri:
-
🕯️ Produk handmade seperti lilin aromaterapi dan keramik lokal meningkat penjualannya
-
📚 Buku tentang mindfulness, minimalisme, dan hidup selaras dengan alam laris manis
-
🏡 Properti di pinggiran kota dan desa digital semakin diminati untuk tinggal jangka panjang
-
💼 Perusahaan mulai menerapkan konsep “deep work hour” dan “no-meeting Friday”
Kesimpulan
Gaya hidup “slow living” telah menjadi gerakan sunyi namun berdampak besar. Ia bukan sekadar tren estetika, tetapi panggilan untuk kembali pada hal-hal esensial dalam hidup: hadir, sadar, cukup, dan bahagia.
Di era serba cepat dan penuh distraksi, melambat adalah keberanian baru. Anak muda hari ini perlahan belajar bahwa hidup bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa yang paling merasakan.